Cantiknya Alammu
Cantiknya Tenunmu Tak Secantik Nasibmu
Nusa Tenggara Timur(NTT) dikenal sebagai tempat wisata
dengan sebutan Surga di Timur Indonesia. Keindahan pantai-pantainya dan
bukit-bukit pasirnya merupakan keunikan wisata di Timur Indonesia ini.
Keindahan dan kecantikan Pantai Pink, Pulau Komodo, Labuan Bajo sudah terkenal
sampai ke manca negara. Foto-foto yang cantik selalu hadir di layar Instagram,
di youtube juga selalu ada yang meliput keindahan pulau-pulau di sana.
Tenun dari NTT juga sangat cantik. Motif-motifnya unik
dan mempunyai cerita yang terkait budaya dari masing-masing daerahnya. Tenun
Sumba merupakan bentuk kekayaan budaya yang dikerjakan oleh para seniman tenun
ikat di Sumba.
Sekarang kita bahas mengenai proses pembuatan tenun
ikat Sumba. Selama ini yang dikeluhkan Customer pembeli tenun ikat Sumba adalah
harganya yang mahal. Supaya kita paham kenapa kita harus membayar mahal untuk
satu helai tenun ikat Sumba. Dengan memahami proses pembuatannya, maka kita
akan paham mengapa harga tenun ini mahal.
Proses pembuatan dimulai dari proses pengumpulan bahan
dan pembuatan tenun ikat dikerjakan secara manual. Satu helai kain biasa
dikerjakan antara 2-3 bulan prosesnya, bahkan jika ukurannya lebih lebar maka
prosesnya mencapai 5-6 bulan. Semua bahan baku sampai pewarnanya biasanya alami
dari tumbuhan yang tumbuh disana. Total proses pembuatan tenun ini ada kurang
lebih ada 42 proses. Dimulai dari proses “lamihi” (proses memisahkan biji dari
kapas) hingga proses”wari rumata” (proses finishing). Dan biasa dikerjakan oleh
3-10 orang untuk membuat 1 lembar kain tenun. [Disadur dari Tenun Ikat
Sumba-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas; id.m.wikipedia.org]
Pertama-tama proses diawali dengan memetik bunga kapas
dan kemudian dikumpulkan kapasnya dan dipilin-pilin menjadi untaian panjang,
pilinan kapas akan berwujud benang tebal. Kita bisa menggulung dalam gulungan
benang. Cara manual memintal benang dari kapas menggunakan tangan disebut
pahudur. Setelah jadi gulungan benang maka akan diwarnai. Sebelum proses
pewarnaan, maka dimulai dengan mencari tanaman nila (aslinya warnanya hijau)
setelah dicampur dengan kapur, tanaman ini akan menghasilkan warna biru tua
atau indigo.
Setelah proses pahudur (memintal kapas menjadi gulungan
benang) dilanjutkan proses”kabukul”: proses pemintalan benang sehingga
berbentuk bola benang, kemudian dilanjutkan “pamening” yaitu proses menyusun atau
menata benang di alat tenun membentuk motif yang diinginkan.
Bahan baku tenun ikat dari kapas, kapas diurai dengan
pandi lalu dipintal menjadi benang. Kemudian benang diwarnai dengan pewarna
alami, warna merah dari akar mengkudu, warna biru dari tumbuhan indigo dan
nila, hitam dari lumpur, warna kuning dari kayu kuning dan kunyit. Pada
prinsipnya pewarnaan diambil dari bahan-bahan alami. Supaya warna tidak rusak
disarankan tidak dicuci dengan sabun. [Disadur dari Kain Tenun Ikat Sumba Timur
dan Proses Penciptaannya-Atre’s Odyssey; renjanatuju.wordpress.com]. Untuk
membuat lima lembar kain ukuran 120x275 cm itu membutuhkan 3 kg pasta indigo
kering, dan 30 kg akar mengkudu. Adapun cara membuat pasta indigo adalah daun indigo
dipotong, direndam dalam air selama satu malam diperas kemudian dicampur kapur
sirih, ditiris dan dikeringkan dengan cara dijemur. Proses ini memerlukan waktu
5-8 hari. Wow banget kan ya panjang dan lama prosesnya dari petik kapas sampai
pewarnaan ya. [Disadur dari Tenun Ikat Sumba Timur, Rekam Sejarah-Astidhema;
astidhema.wordpress.com]
Langkah pembuatan corak atau motif adalah 1: menggambar
motif di lembaran untaian benang dengan pensil merah-biru, 2: mengikat benang yang
sudah digambar tadi yang nantinya berwarna putih, langkah ke-3: mengikat motif
yang akan diberi warna merah. [Disadur dari Proses Pembuatan Tenun Ikat dan
Tenun Pahikung Sumba Timur I Strategi; strategi.co.id]
Setiap kain tenun ikat Sumba memiliki cerita yang
berisi sejarah dan doa yang dituangkan ke dalam kainnya. Jadi setiap seniman tenun
yang menggambarkan kreativitas,imajinasi,dan suasana hatinya. Dan biasa dihiasi
berbagai motif flora dan fauna yang melambangkan hal tertentu. Misalnya motif
singa berkepala manusia melambangkan kekuasaan, motif bunga melambangkan
kehidupan manusia yang saling membutuhkan, dan motif ular melambangkan
kehidupan setelah kematian. [Disadur dari Tenun Ikat Sumba, Eksostisme Nusa
Tenggara Timur dalam Kain-Greeners.Co.]
Kain Sumba memiliki beberapa fungsi sosial budaya di
dalam masyarakat, secara garis besar fungsinya adalah sebagai pakaian, hubungan
kekerabatan, sebagai penanda status sosial dan sebagai alat tukar dan
komoditas. Pada awalnya, tenun memang merupakan alat pertukaran adat namun di
kemudian hari karena banyak mengadopsi simbol-simbol baru dan modern menjadi
komoditas yang bernilai ekonomis.
Nah bagaimana setelah kita sedikit belajar mengenai
proses pembuatan kain tenun Sumbawa, apakah kita masih akan menganggap semua
proses ini layak dengan harga jualnya? Atau membuat kita makin menghargai wastra
cantik ini.
Kondisi pandemi yang menimpa kita saat ini secara otomatis
membuat dunia pariwisata yang menjadi andalan pendapatan para mama penenun kain
dan para pelaku pariwisata menjadi matikutu. Bagaimana bisa ada yang datang mau
beli kain-kain cantik harganya jutaan ini saat ini. Para mama ini akhirnya
meminta bantu untuk menjualkan tenun karya mereka untuk dibantujualkan. Ide
dari team Kreata adalah membuat masker dari kain tenun ini. Biarpun rasanya
sayang sekali kain yang ditenun dengan susah payah ini dipotong kecil menjadi
masker cantik ini. Jadi akhirnya masker tenun Sumba dengan motif dari Buna,
dari Pahikung, dari Maumere dan selalu sold out.
Antara lucu atau sedih adalah pada saat ada EO dari Jakarta
akan mengadakan acara di Labuan Bajo tetapi malah beli masker dari WPC Mart di Jakarta.
Dan ada kenalan dari Sumba yang beda kota dengan tempatnya tenun Pahikung dan
membeli masker dari Jakarta.
Kenapa oh kenapa masker tenun cantik buatan mama-mama
penenun ini tidak bisa ditemui di daerah asalnya, karena disana tidak ada koordinator
yang mau peduli untuk membantu memasarkan masker tenun. Bahkan untuk awalnya
para mama ragu untuk menjahit, karena kemampuan untuk menjahit belum ada
sehingga mereka tidak pede membuat masker. Mama oh mama penenun mari
bergandengan tangan untuk sama-sama bertahan supaya taraf hidupmu meningkat
seiring dengan cantiknya tenun buatanmu dan alam indah di sekitarmu.
Mari kita bersama bergandengan tangan memajukan kain
wastra tradisional ini supaya tidak punah ditelan pandemi. Mari kita bersama
membantu memasarkan kain wastra nasional.
Alamnya cantik. Tenunnya juga cantik. Telaten bikinnya. Ampe 2-6 bulan. Salute...
ReplyDeleteWoW, Ini alasanku jg,suka syg aja, guntingin kain tenunan yg proses pembuatannya sepanjang jalan kenangan, jadi sebuah masker. Apalg yg pewarna alam. Tidaaak! 😍😂
ReplyDelete