Pages

Saturday, 3 October 2020

#TugasAkhirCerpenAlam

 

Legenda Cinta Musim Gugur Koko

 

Musim gugur tahun lalu adalah musim gugur yang sempat kunikmati sebelum masuk pandemi ini dimana tidak bisa pergi ke mana-mana. Musim gugur adalah musim pergantian warna tanaman dimana sebelum daun berguguran memasuki musim dingin akan mengalami perubahan warna daun dari hijau menguning, memerah menjadi coklat dan turun ke tanah.

Kenangan musim gugur mengenang kisah cinta Dewi Bulan dengan Sang Pemanah Matahari. Buku yang lagi kebaca sebagian itu tergeletak di bawah sofa, sementara yang baca tertidur lelap ditemani sinar bulan purnama. Dalam mimpinya terlihat Dewi Bulan yang cantik memanggil namanya. “Koko, ayo ikutlah aku. Temani aku di atas sini,” sayup terdengar suara merdu sang Dewi lirih di telinga. Terlihat sang Dewi melambaikan tangan mengajaknya mengikuti melayang perlahan menuju langit.

Wangi kue bulan tetiba menyeruak di hidung membuatku terbangun dengan tiba-tiba. Di dapur terdengar percakapan oma Tita dengan simbok Marni yang setia membantu oma membuat kue bulan. “Koko masih tidur ya? terdengar suara oma bertanya ke simbok. “ Iya kayanya oma, kecapekan bikin karya ceritanya yang baru sepertinya,” jawab simbok Marni. Kata oma pelan,”apa ya bisa buat hidup ya, cuma nulis cerita gitu, kuatir lo mbok gimana nasib anak itu nanti.” Simbok dengan pelan menjawab,”iya ya oma, sekarang aja semua oma yang tanggung ya biaya rumah, biaya makan, biaya sekolahnya.” Hatiku sedih mendengar percakapan itu, terasa sekali perih karena belum bisa memberikan hasil dari menulis kepada oma yang selalu merawatku dari kecil.

Aku sudah hobi mengarang dari kecil, menulis cerita adalah salah satu keahlianku. Dan aku yakin dengan menulis cerita akan bisa menghasilkan sesuatu. Cita-citaku bisa menghasilkan tulisan tentang alam dan perjalanan seperti Agustinus Wibowo penulis cerita Titik Nol. Keindahan alam Indonesia sangat memikat untuk dituliskan, namun cara penulisan yang bisa menghasilkan uang ini belum bisa kujalankan. Pedih hatiku mendengar percakapan oma Tita dan simbok Marni, mereka berdualah yang mengasuhku dari kecil, semenjak usia balita ditemukan di depan rumah oma Tita. Aku tidak pernah ingat kenangan yang lain, selain kenangan diasuh oleh oma.

Dengan motorku, aku berputar menyusuri jalan-jalan yang berliku menuju ke bukit, sejenak melepaskan kepenatan belajar dan mencari inspirasi untuk kisah yang lain. Pemandangan yang hijau menyegarkan mataku dari suntuk ruang kamar tempat menulis cerita. Apa yang bisa kukerjakan supaya bisa menghasilkan dan membantu oma dan simbok memenuhi benakku. Berhenti di gardu pandang, duduk sendiri, memandang kaki bukit yang hijau, melihat langit yang biru cerah, menikmati semilirnya angin di gunung. Di tempat ini biasanya ceritaku akan mengalir dengan lancar, menceritakan kisah cinta Dewi Bulan dan Sang Pemanah Matahari, versi Indonesia dengan mengadaptasi alam di Indonesia. Sejenak merenungkan keindahan alam Sang Pencipta.

Senja mulai datang, cahaya mulai meredup, suasana semakin sunyi, angin makin dingin menusuk tulang. Tak ada keinginan beranjak pulang, hati masih berat untuk pulang. Kupakai jaket kulit kesayangan hadiah oma saat ulang tahun ke-17, 3 tahun lalu. Jaket yang dibelikan dari uang jualan kue bulan oma yang terkenal. Malam menjelang, angin makin dingin, karena purnama kan datang. Setiap purnama menjelang, dingin tak terelakkan. Kubuatkan puisi untuk oma, puisi tentang sayang dan hormat serta terima kasihku kepada oma yang merawatku tanpa pamrih.

Awan bergerak perlahan tertiup angin dan mulai menampakkan kemolekan bulan purnama di ujung sana. Sang Dewi Bulan terlihat muncul di bayangan purnama, Jubahnya terlihat melambai ditiup sang Bayu, wajah cantiknya bercahaya menampilkan senyum yang mesra. ‘Ayo Koko ikutlah aku, temaniku di sini, tidakkah kau lihat aku sendirian di sini?”, lirih suara Sang Dewi memanggil kembali, seperti mimpi 3 hari yang lalu saat aku tertidur di sofa di rumah oma. Tangan Sang Dewi bergerak perlahan menarik tanganku yang memeluk lututku.” Ikutlah, di sini kamu akan bahagia selamanya, tidak aka nada lagi rasa sakit yang mengganggumu selama ini,” bujuk Sang Dewi kepadaku. Cahaya bulan lembut menembus wajahku, saat aku terseret mengikuti langkah Sang Dewi yang perlahan menarikku, perlahan makin terasa melayang tak terasa tangan digenggam Sang Dewi, kakiku secara otomatis berdiri melangkah mengikuti langkah ringannya.

Cahaya bulan yang lembut semakin mempercantik wajah Sang Dewi Bulan yang sudah cantik. Kerlingan matanya, merdu suaranya terdengar menyanyikan sebuah lagu tentang keindahan sang bulan. Aku terpesona dengan suaranya yang merdu saat bernyanyi sehingga melupakan semua kegelisahan beban di hatiku. Melupakan kerisauan karena belum bisa membalas jasa oma Tita.

Ingatan akan oma Tita menyadarkan dan melepaskan tangan Sang Dewi dengan perlahan dan berkata pelan, “ Maaf Dewiku, aku belum bisa ikut denganmu sekarang, aku harus membantu dan menjaga oma. Maafkan aku, nantikanku untuk saat nanti ketika aku sudah berbakti kepada oma.” Setengah berlari aku meninggalkan Sang Dewi menaiki motor dan pulang ke rumah oma. Tetiba gubrak, aku terjatuh dan tak sadarkan diri, waktu terbangun oma Tita sudah di sisiku dan menatap dengan kasih,”Koko mimpi apa, kok panggil-panggil Dewi terus teriak panggil Oma.”

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

Pagi ini

  Setelah berhari-hari cuaca mendung, melihat langit biru sangat memukau hati. Keceriaan dan cerahnya langit membuat hati makin semangat bek...