Legenda Cinta
Musim Gugur Koko
Musim
gugur tahun lalu adalah musim gugur yang sempat kunikmati sebelum masuk pandemi
ini dimana tidak bisa pergi ke mana-mana. Musim gugur adalah musim pergantian
warna tanaman dimana sebelum daun berguguran memasuki musim dingin akan
mengalami perubahan warna daun dari hijau menguning, memerah menjadi coklat dan
turun ke tanah.
Kenangan
musim gugur mengenang kisah cinta Dewi Bulan dengan Sang Pemanah Matahari. Buku
yang lagi kebaca sebagian itu tergeletak di bawah sofa, sementara yang baca
tertidur lelap ditemani sinar bulan purnama. Dalam mimpinya terlihat Dewi Bulan
yang cantik memanggil namanya. “Koko, ayo ikutlah aku. Temani aku di atas sini,”
sayup terdengar suara merdu sang Dewi lirih di telinga. Terlihat sang Dewi
melambaikan tangan mengajaknya mengikuti melayang perlahan menuju langit.
Wangi
kue bulan tetiba menyeruak di hidung membuatku terbangun dengan tiba-tiba. Di
dapur terdengar percakapan oma Tita dengan simbok Marni yang setia membantu oma
membuat kue bulan. “Koko masih tidur ya? terdengar suara oma bertanya ke simbok.
“ Iya kayanya oma, kecapekan bikin karya ceritanya yang baru sepertinya,” jawab
simbok Marni. Kata oma pelan,”apa ya bisa buat hidup ya, cuma nulis cerita gitu,
kuatir lo mbok gimana nasib anak itu nanti.” Simbok dengan pelan menjawab,”iya
ya oma, sekarang aja semua oma yang tanggung ya biaya rumah, biaya makan, biaya
sekolahnya.” Hatiku sedih mendengar percakapan itu, terasa sekali perih karena
belum bisa memberikan hasil dari menulis kepada oma yang selalu merawatku dari
kecil.
Aku
sudah hobi mengarang dari kecil, menulis cerita adalah salah satu keahlianku.
Dan aku yakin dengan menulis cerita akan bisa menghasilkan sesuatu. Cita-citaku
bisa menghasilkan tulisan tentang alam dan perjalanan seperti Agustinus Wibowo
penulis cerita Titik Nol. Keindahan alam Indonesia sangat memikat untuk
dituliskan, namun cara penulisan yang bisa menghasilkan uang ini belum bisa
kujalankan. Pedih hatiku mendengar percakapan oma Tita dan simbok Marni, mereka
berdualah yang mengasuhku dari kecil, semenjak usia balita ditemukan di depan rumah
oma Tita. Aku tidak pernah ingat kenangan yang lain, selain kenangan diasuh oleh
oma.
Dengan
motorku, aku berputar menyusuri jalan-jalan yang berliku menuju ke bukit,
sejenak melepaskan kepenatan belajar dan mencari inspirasi untuk kisah yang
lain. Pemandangan yang hijau menyegarkan mataku dari suntuk ruang kamar tempat
menulis cerita. Apa yang bisa kukerjakan supaya bisa menghasilkan dan membantu
oma dan simbok memenuhi benakku. Berhenti di gardu pandang, duduk sendiri,
memandang kaki bukit yang hijau, melihat langit yang biru cerah, menikmati
semilirnya angin di gunung. Di tempat ini biasanya ceritaku akan mengalir
dengan lancar, menceritakan kisah cinta Dewi Bulan dan Sang Pemanah Matahari,
versi Indonesia dengan mengadaptasi alam di Indonesia. Sejenak merenungkan
keindahan alam Sang Pencipta.
Senja
mulai datang, cahaya mulai meredup, suasana semakin sunyi, angin makin dingin
menusuk tulang. Tak ada keinginan beranjak pulang, hati masih berat untuk
pulang. Kupakai jaket kulit kesayangan hadiah oma saat ulang tahun ke-17, 3
tahun lalu. Jaket yang dibelikan dari uang jualan kue bulan oma yang terkenal. Malam
menjelang, angin makin dingin, karena purnama kan datang. Setiap purnama
menjelang, dingin tak terelakkan. Kubuatkan puisi untuk oma, puisi tentang sayang
dan hormat serta terima kasihku kepada oma yang merawatku tanpa pamrih.
Awan
bergerak perlahan tertiup angin dan mulai menampakkan kemolekan bulan purnama
di ujung sana. Sang Dewi Bulan terlihat muncul di bayangan purnama, Jubahnya
terlihat melambai ditiup sang Bayu, wajah cantiknya bercahaya menampilkan
senyum yang mesra. ‘Ayo Koko ikutlah aku, temaniku di sini, tidakkah kau lihat
aku sendirian di sini?”, lirih suara Sang Dewi memanggil kembali, seperti mimpi
3 hari yang lalu saat aku tertidur di sofa di rumah oma. Tangan Sang Dewi
bergerak perlahan menarik tanganku yang memeluk lututku.” Ikutlah, di sini kamu
akan bahagia selamanya, tidak aka nada lagi rasa sakit yang mengganggumu selama
ini,” bujuk Sang Dewi kepadaku. Cahaya bulan lembut menembus wajahku, saat aku
terseret mengikuti langkah Sang Dewi yang perlahan menarikku, perlahan makin
terasa melayang tak terasa tangan digenggam Sang Dewi, kakiku secara otomatis
berdiri melangkah mengikuti langkah ringannya.
Cahaya
bulan yang lembut semakin mempercantik wajah Sang Dewi Bulan yang sudah cantik.
Kerlingan matanya, merdu suaranya terdengar menyanyikan sebuah lagu tentang
keindahan sang bulan. Aku terpesona dengan suaranya yang merdu saat bernyanyi
sehingga melupakan semua kegelisahan beban di hatiku. Melupakan kerisauan
karena belum bisa membalas jasa oma Tita.
Ingatan
akan oma Tita menyadarkan dan melepaskan tangan Sang Dewi dengan perlahan dan
berkata pelan, “ Maaf Dewiku, aku belum bisa ikut denganmu sekarang, aku harus membantu
dan menjaga oma. Maafkan aku, nantikanku untuk saat nanti ketika aku sudah
berbakti kepada oma.” Setengah berlari aku meninggalkan Sang Dewi menaiki motor
dan pulang ke rumah oma. Tetiba gubrak, aku terjatuh dan tak sadarkan diri,
waktu terbangun oma Tita sudah di sisiku dan menatap dengan kasih,”Koko mimpi
apa, kok panggil-panggil Dewi terus teriak panggil Oma.”
No comments:
Post a Comment