Buku Gemrenggeng Dokumentasi Ekosistem Anyaman Pandan Grenggeng diterbitkan oleh Yayasan Warisan Budaya Gombong. No ISBN : 978-602-51386-1-4.
Buku kecil ini merupakan hasil riset dan pendataan awal yang dilakukan Roemah Martha Tilaar (RMT) sebagai rangkaian program untuk pengembangan produk anyaman pandan.
Buku dengan design cover yang menarik foto complong atau anyaman pandan dengan tulisan judul buku warna hijau daun : Gemrenggeng dan tulisan dokumentasi ekosistem anyaman pandan Grenggeng warna hitam di bawahnya.
Buku setebal 74 halaman ini sangat menarik dibaca untuk para pecinta budaya anyaman, buku ini lengkap isinya. Dari sejarah, perkembangan anyaman, sampai proses pembuatan serta distribusi.
Anyaman pandan merupakan keahlian tradisi yang diturunkan bergenerasi hanya berdasarkan budaya lisan dan ingatan dari generasi sebelumnya.
Buku ini akan membantu kita terutama nanti generasi penerus bangsa untuk dapat mengetahui anyaman pandan. Selama ini pengetahuan mengenai proses dan motif anyaman serta perkembangan anyaman hanya berdasarkan budaya lisan. Kelemahan budaya lisan adalah jika satu saat generasi terakhir tidak mempunyai minat atau penerus maka ilmu menganyam ini akan punah.
Buku ini bermaksud merekam secuplik kisah dari proses pewarisan tradisi menanyam pandan di kabupaten Kebumen, khususnya desa Grenggeng, kecamatan Karanganyar. Dimulai dari penelusuran asal-usul kerajinan anyaman pandan, pewarisan teknik membuat motif, sampai bagaimana kebutuhan ekonomi membentuk tradisi menganyam dan mempengaruhi perubahannya hingga saat ini.
Anyaman pandan tidak bisa dipisahkan dari tradisi orang Sunda yang dalam penelitian Ali Sastramidjaja di penelitiannya tahun 2007, menuturkan bahwa masyarakat Sunda tradisional menganggap samak atau tikar pandan adalah bagian dari siklus kehidupan mereka yang dari lahir sampai menjelang ajal menjemput selalu di atas samak atau tikar pandan.
Pada perkembangannya tahun 1920 1n, menurut penelitian dari Agus Cahyana (Univ Kristen Maranatha) produk tikar dan caping pandan mulai dijual di jaarbeurs (pasar dagang tahunan) yang dibuka oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung.
Dari warisan tradisi sampai peluang ekonomi. Masyarakat Sunda menyebut helai daun pandan yang siap anyam sebagai array sedangkan di Kebumen disebut ayaran. Pada tahun 1960 an tudung dan topi hasil anyam dijual dari Kebumen ke Tasikmalaya untuk dikirimkan ke pedagang di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Surabaya serta sebagian lainnya dijual ke luar negeri seperti Jerman, Perancis dan Jepang.
Awalnya produksi yang laris dalam bentuk slepen dan topi, kemudian muncul complong ( produk setengah jadi yang merupakan sarung dari tikar pandan ataupun dalam bentuk lembaran). Complong ini laris karena bisa diolah lagi menjadi kerajinan bentuk lain. Pengrajin pandan di Kebumen akhirnya banyak memproduksi complong dan dikirimkan ke Tasikmalaya atau Jogjakarta yang merupakan sentra industri kerajinan yang berkembang.
Kerajinan anyaman pandan di Kebumen berkembang sebagai jawaban atas permintaan pasar dan solusi ekonomi masyarakat petani ketika menunggu masa panen tiba. Pada dasarnya ada 3 kelompok yang terlibat yaitu petani yang menanam pandan, pengrajin atau penganyam dan pengepul atau pedagang pengumpul.
Desa Grenggeng yang menjadi fokus penulisan buku ini , namanya berasal dari kata "gemrenggeng" untuk menunjukkan suara seperti dengung yang terdengar timbul tenggelam seolah berasal dari bawah tanah. Pada saat penulisan buku ini terdata : 448 penganyam yang tersebar di 8 RW dari 10 RW; jumlah penganyam aktif di RW 7 : 80 orang dan RW6 : 64 orang.
Anyaman pandan pernah menjadi penyangga ekonomi yang kuat di wilayah desa-desa kaki perbukitan Serayu Selatan pada tahun 1980 sampai awal tahun 2,000an.
Ancaman dan keberlanjutan ini dipicu dari menurunnya produksi anyaman pandan ketika musim tanam dan musim panen, serta menurunnya minat terhadap kegiatan menganyam di generasi muda. Usia rata-rata penganyam aktif saat ini 53-58 tahun. Dan satu lagi pola pikir beralih dari pengrajin menjadi pengepul juga merupakan ancaman yang mengakibatkan jumlah pengrajin pandan menurun.
Anyaman pandan dalam warisan ingatan, di luar perannya sebagai komoditas ekonomi, pandan adalah unsur yang berpengaruh dalam kohesi sosial masyarakat desa Grenggeng. Pandan melingkupi wawasan kolektip masyarakat tentang cara hidup yang diwariskan sampai 3 generasi. Sehingga penting untuk mengeksplorasi pengetahuan dibalik terciptanya produk anyaman pandan dari perjalanannya dari pengisi lahan menjadi hasil seni kerajinan yang mempengaruhi dinamika sosial.
Mari kita bahas mengenai pandan bahan baku dari anyaman, yang biasa digunakan adalah pandan duri dimana persebarannya luas khusus di Asia Tenggara dengan ketinggian 0-600 mdpl. Pandan yang tumbuh di pantai disebut pandan laut dengan karakteristik durinya lebih besar dan dibuat anyaman tekstur lebih liat.
Alur pembuatan anyaman diawali dari magas : kegiatan memetik daun pandan, untuk menjaga kualitas dilakukan 1 bulan 1x menggunakan pisau atau arit dan daun yang dipilih adalah beberapa helai terbawah di batang pohon . Biasa dilakukan di pagi hari sehingga siang bisa diolah menjadi ayaran. Tanaman pandan yang ideal dipagas adalah yang berusia minimal 1 tahun dengan panjang daun sudah mencapai 100 cm.
Proses ke-2 adalah mengirat atau ndereih : proses menghilangkan duri pada daun dengan membelah daun pandan mengikuti arah tulang daun sehingga membentuk helai-helai dengan ukuran lebih kecil dari 3 mm,5 mm dan 100 mm. Ndereih dilakukan manual dengan senar gelas atau senar pancing, jika dilakukan oleh ahlinya gerakan senar ini tidak terlihat dan helai-helai pandan berjatuhan teratur dengan ukuran yang hampir sama.
Daun pandan yang sudah diirat ini akan direbus dahulu selama 3 jam sekali direbus, semakin kaku maka semakin lama proses perebusan . Tujuannya untuk mengawetkan dan membuang klorofil sehingga warna natural putihnya tampak. Pemberian warna dilakukan saat perebusan dengan syarat yang diberi warna adalah ayaran yang sudah jadi atau sudah dijemur. Ayaran direbus bersama pewarna sembari diaduk pelan sampai warna terserap kemudian dijemur sampai kering. Anyaran dengan pewarna alami akan timbul bau khas, sehingga hanya dengan mencium baunya saja maka bisa dibedakan ayaran natural dengan ayaran warna.
Penjemuran adalah proses berikutnya , diperlukan waktu 2-3 hari jika sinar matahari tidak stabil tetapi jika stabil 12 jam sudah kering. Cuaca dan kadar air merupakan tantangan dalam pengolahan anyaman pandan.
Besuti adalah proses berikut setelah anyaran kering , mengembalikan ke bentuk semula yang lurus dan halus. Alat yang digunakan adalah bilah bambu kecil sepanjang 15 cm dan dengan lebar cukup untuk digenggam. Caranya dengan menekan tepian bilah bambu secara horisontal pada permukaan vertikal anyaran dan menariknya dari pangkal hingga ujung seperti gerakan mengasah. Teknik besuti ini akan mempengaruhi kualitas produk. Pembesutan ayaran setengah kering disebut proses pepes akan lebih enak dianyam, lebih udah dibentuk dan ketika menjadi complong atau produk lain maka sifat material lebih lentur dan liat.
Proses akhirnya setelah besuti ya pastinya menganyam ya. Proses menganyam diawali dengan kawitan (awalan) dengan jumlah helaian ayaran ditentukan oleh bentuk dan ukuran.Selain kawitan adalagi istilah sered posisi horisontal atau diagonal dan juga cethut ayaran yang diposisikan tegak dalam proses menganyam. Hitungan jumlah sered dan cethut inilah yang menentukan motif dan bentuk yang akan dibuat. Untuk produk complong yang berupa lembaran , proses selesai ketika sudah mencapai ukuran panjang yang diinginkan semisal 50x50 ataupun 60x60 cm. Nanmun untuk pembuatan slepen dan topi , sisa panjang ayaran perlu dikunci dengan teknik palit agar tidak lepas.
Perkembangan peralatan pendukung dan teknik anyaman dalam produksi. Pada proses ndereih menghilangkan duri ini biasa menggunakan senar pancing, kemudian dibuat alat bantu rimbagan untuk mempermudah ( di sekitar tahun 2,000 an) dengan fungsi sama dengan kelebihan lebih cepat prosesnya namun hasilnya jadi tajam dan rawan melukai tangan, sehingga pengrajin lebih suka mengirat dengan senar. Untuk teknik jahit biasa biasa disebut jejet yang berfungsi mengunci tepian anyaman terutama untuk yang lebih dari satu lapis untuk mencegah anyaman mudah lepas. Jejet ini menggunakan jarum yang sama dengan jarum untuk sulam pita atau benang wol. Jejet juga menutup bagian sambungan di ujung atau tepi anyaman pandan. Namun untuk pekerjaan kombinasi anyaman dengan bahan lainnya dan dalam kapasitas produksi masal maka digunakan mesin jahit.
Seiring berkembangnya produk pandan menjadi barang-barang kebutuhan sehari-hari dan juga dikombinasikan dengan bahan lain. Contohnya perkembangan anyaman pandan digunakan sebagai pegangan atau handle tas maka dikembangkan anyaman membentuk slithi (anyaman seperti complong bermotif natural dengan diameter kecil yang bagian tengahnya dimasukkan spons atau tali sumbu untuk mempertahankan bentuk), tali kepang ataupun tambang. Juga ada teknik bleaching dan decoupage untuk memperindah hasil. Ada sekitar 20 motif anyaman yang ada dan merupakan kreasi pengrajin kaki bukit Serayu Selatan yang membedakan dengan dengan anyaman dari Tasikmalaya. Pengarajin di Kebumen lebih banyak produk yang buatan tangan dengan warna natural.
Anyaman pandan di desa Grenggeng telah melewati perjalanan yang jauh dan berlari lebih cepat mendahului desa di sekitarnya , berangkat dari tanaman pandan pengisi lahan hutan menjadi peluang ekonomi yang menjanjikan . Saat ini anyaman pandan perlu dikaji dengan cara pandang yang berbeda, bukan hanya sebagai bahan kerajinan namun merupakan bagian dari tradisi lokal yang memiliki nilai kekayaan tersendiri. Pandan bukan hanya tentang material fisik tetapi juga tentang warisan kebiasaan yang bernilai pengetahuan.
Mari kita jaga anyaman pandan Desa Grenggeng ini sebagai warisan budaya jangan biarkan hanya "Gemrenggeng" suara yang timbul tenggelam di dalam tanah. Namun biarkan menggema di semua penjuru sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kekayaan nusantara.